Minggu, 16 November 2008

INDONESIA PASCA PERJANJIAN DAMAI DI HELSINKI FINLANDIA

by: Edy Lasmayadi BR

Konsensus peace agreement antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah di toreh pada tanggal 15 Agustus 2005, dua hari menjelang hari perayaan kemerdekaan RI ke 60. Momentum ini merupakan sejarah baru dan menjadi guide line politik bagi perjalanan Indonesia baru yang digawangi orde reformasi ini.

Konsideran nota kesepakatan (MOU) yang dibahas dalam pertemuan III pasca pertemuan COHA pada tahun 2003 di Helsinki merupakan result maksimal dan final dalam menyatukan perbedaan politis yang selama ini meruncing. Walaupun banyak pihak mendiagnosa pertemuan ini akan menghasilkan stetment "state in state". Namun setidaknya kita tidak serta merta mendevisikan perdebatan panjang ini pada muara pemahaman pendek terhadap hasil yang telah digulirkan. Kurun waktu hampir 30 tahun dalam masa peperangan yang menghabiskan dana dan nyawa kurang lebih 15.000 orang tewas dalam konflik primordialis tsb.

Penandatangan kesepakatan damai kedua belah pihak, Hamid Awaludin duta dari Indonesia dan Tengku Malik Mahmud mewakili GAM, setidaknya jadi amunisi baru bagi pembangunan masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia umumnya. Peristiwa ini diharapkan menjadi tapak tilas akhir dari perdebatan panjang selama perundingan yang telah beberapa kali mengalami chaos.

Sebagai anak bangsa yang seyogianya mengharapkan kemajuan pembangunan bangsa, ada beberapa hal yang setidaknya menjadi atensi dalam menjaga keberlangsungan damai di negeri “tanah rencong”, diantaranya:

1. Kedua belah pihak harus melakukan komitmen bersama dan berjiwa besar menjalankan kesepakatan damai tersebut, meskipun dalam pelaksanaan mendapat back up dan save dari AMM (Aceh Monitoring Mission) yang terdiri dari beberapa negara Uni Eropa dan Asean. Namun apabila di landasi niat baik (good will) dalam kesatuan sebagai bangsa tentunya aplikasi dilapangan akan lebih moderat.

2. Pemerintah Indonesia harus mendapat dukungan kuat dari lembaga-lembaga negara, partai politik, LSM dan segenap rakyat Indonesia. Support ini penting guna mendukung decesion making yang diterapkan oleh pemerintah dalam membangun Aceh dimasa yang akan datang. Sebab apabila kesepakatan dan pembangunan hanya sebagai lip servis,bukan tidak mungkin "pemberontakan" jilid berikutnya akan terbit kembali.

3. Meredam diskursus yang mendiskreditkan perjuangan rakyat Aceh. Hal ini perlu mendapatkan perhatian yang serius sebab jika tidak akan membangkitkan semangat patriotik " veteran" GAM. Demikian juga sebaliknya, GAM juga tidak perlu membuka bab lama tentang eksistensi TNI di Aceh.

4. Saling percaya (trush) antara kedua belah pihak.
Sikap saling percaya perlu di bangun untuk me-recovery Aceh dimasa depan. Jika kondisi ini tidak dijaga, konsensus yang telah dibuat di khawatirkan hanya bersifat temporer saja. RI dan GAM harus sama-sama meyakini akan kebersatuan ini.

Demikian beberapa frame pemikiran yang mengilhami kesepakatan damai ini. Bagaimanapun juga pomeo "civis vacem parabelum" (jika ingin damai bersiaplah untuk perang) masih jadi atmosfir dalam kehidupan manusia dari masa ke masa.

, 16 agustus 2005

Kedatangan Hassan Tiro di NAD

Tulisan diatas adalah pemikiran yang telah saya lewati kurang lebih 3 tahun yang lalu, namun Aceh atau sekarang lebih akrab di sebut Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tetaplah tanah harapan bagi pejuang eks GAM dan pejuang setia NKRI, yang sama-sama menginginkan perdamaian abadi di negeri serambi mekkah ini.

Usai porak-porandanya negeri ini (baca Aceh) memang masih menyisakan pengalaman tragis dan pilu akibat bencana tsunami yang menyapu bersih sebagian besar daerah pantai pesisir NAD. Strating point pasca bencana super besar yang menelan korban ratusan ribu nyawa (10 kali lipat korban perang saudara di Aceh selama 30 tahun dengan bencana yang hanya memakan waktu tidak lebih dari 1/10 hari saja) ini adalah menyatukan puing-puing rasa yang selama ini berserakan untuk disusun menjadi kerangka tegaknya semangat persatuan dan persaudaraan. Kekuatan energi inilah yang di salurkan untuk membangun negeri rencong ini dengan masa depan yang lebih baik dan tertata lagi.

Kunjungan Wali Nanggroe Mr. Hassan Tiro pada bln Oktober 2008 kemarin banyak di tanggapi berbagai rumor yang muncul di dalam negeri. Kekhawatiran berbagai pihak akan munculnya spirit Aceh Merdeka menjadi satu dasar akan kedatangan Orang nomer satu di lingkungan GAM ketika masih bercokol itu. Banyak orang beranggapan selama stay di Swedia beliau masih aktif menyuarakan Gerakan sparatis ini.

Namun spekulasi dan tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar itu seyogianya harus di kubur dalam-dalam. Kita sering kali tersiksa dengan kecurigaan-kecurigaan yang kadang kurang beralasan dan landasan argumentasi yang nisbi sehingga dapat menimbulkan polemik di kalangan birokrat, politisi dan masyarakat umumnya.

Justru kedatangan Mr. Hassan Tiro harus di sambut baik dan tangan terbuka, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang selalu cinta perdamaian dan bangsa yang konsisten menjaga agreement. Terlepas dari latar belakang dan peran pada masa lampau, seyogianya kita lebih bijak jika lebih membuka roadmap untuk kemajuan /kondusif nya keamanan dan kebersatuan masyarakat di Aceh. Harapannya dengan silaturrahmi-nya Wali Nanggroe ini ke bumi rencong semoga membuka mata dan hati kita bahwa ini semua karena rasa cinta kasih dan kerinduan beliau pada tanah kelahirannya, Aceh.

Positive thinking ini di kedepankan karena ada landasan moral dan tertulis yang telah diperjuangkan oleh pemerintah RI (yang di komandani Hamid Awaluddin) bersama petinggi GAM, yakni Perjanjian Helsinki yang di gelar dan di sepakati bersama pada medio Agustus 2005.

Semoga pihak keamanan dengan profesionalitasnya mampu bekerja sama dengan segenap lapisan masyarakat Aceh guna menciptakan kesejukkan dan perasaan aman. Pembelajaran ini harus di sadari juga bagi para eks personil GAM, bahwa kesatuan dan perdamaian yang sudah terbentuk janganlah tercoreng dan dikotori oleh provokasi pihak-pihak yang tidak menginginkan kenyaman di bumi NAD. Sebagai bangsa besar kita harus kuat dalam persatuan dan kesatuan jangan sebaliknya menumpuk curiga dan dendam berkepanjangan yang melahirkan pepecahan dan permusuhan. Kata kunci yang harus di pahami“Jangan Ada Dusta di Antara kita”.

Jumat, 14 November 2008

EFORIA POLITIK MASYARAKAT KITA


By : Edy Lasmayadi

Bergulirnya reformasi dengan usainya rezim orde baru di tahun 1998, mengawali change image masyarakat terhadap eksistensi politiknya. Kebuntuhan saluran aspirasi yang selama ini mengendus perlahan membuka kran kebungkaman masyarakat saat ini.

Kebebasan berpendapat yang dijamin UUD 1945, meskipun secara eksplisit diterjemahkan sejak dulu, namun eksistensi itu mulai bergerak pada saat ini. Genderang perubahan itu tentunya membawa angin segar bagi peta perpolitikan negara Indonesia. Namun apabila hal ini tidak disikapi secara arif dan bijaksana, bukan tidak mungkin akan menimbulkan tirani baru bagi perkembangan demokrasi. Statemen yang dilontarkan tanpa didukung keakuratan data dan bukti otentik kerap membingunkan serta dapat menimbulkan "devide at impera" dikalangan masyarakat dan memicu kondisi chaos. Eforia ini sebagai konsekuensi logis atas terbelenggunya kebebasan berekspresi, berpendapat yang dibidani secara sistematis oleh rezim orde pembaruan.

Kran pembuka itu bernama mahasiswa

Mahasiswa sebagai agen of change dan gerakan moral (moral force) dalam perjalanan perpolitikan negeri ini, sejak orde lama telah menunjukakan perannya. Kejatuhan rezim Soekarno telah menorehkan sejarah bagi keberadaan peran gerakan mahasiswa. Dengan tema sentral gerakan anti kemapanan, mahasiswa kerap mengkritisi segala kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah. Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) merupakan salah satu benang merah sejarah mahasiswa dalam menentang kemauan penguasa.

Pada dataran peran mereka (baca mahasiswa) dipenghujung orde baru, 1997 gerakan mahasiswa semakin menghiasi dan menjadi icon bagi pergerakan menjatuhkan rezim yang korup. Seperti padanan bijak “sejarah akan berulang”, kejadian ini seperti potret pergerakan 66, yang juga membawa massage slogan mengganti orde (Orla ke Orba) sedangkan gerakan 98 Orde baru ke orde reformasi.

Dalam banyak pergerakan mahasiswa merupakan salah satu corong yang sangat efektif untuk membawa angin perubahan, meskipun aktor intlektual ini kerap menjadi korban dari proses perubahan yang di perjuangkannya. Beberapa peristiwa terekam telah melahirkan pahlawan pembawa angin perubahan dalam percaturan politik nasional, sebut saja So Hok Gie, Arif Rahaman Hakim, Hariman Seregar, Arif Budiman dan diera 98 seperti Elang Lesmana dan lainnya yang tidak bisa kita sebut satu per satu.

Perubahan yang belum menuai hasil

Lokomotif perubahan ini telah 10 tahun menarik gerbong reformasi pada rel nya, namun signifikansi kemajuan dan kesejahteraan yang dijanjikan belum juga menuai hasil. Banyak keterpurukan negeri ini dalam beberapa sektor yang menjadi variabel peningkatan perekonomian, semisal angka penganguran yang masih relatif tinggi, mahalnya harga sembako, petani yang belum terangkat dari jurang kemiskinan dan lain sebagainya.

Ternyata “madu” reformasi itu masih terasa belum manis di lidah rakyat kita, meski demikian bukan berarti pemerintah saat ini tidak memikirkan dan tidak memiliki program peningkatan kesejahteraan rakyat terhadapnya. Memang tidaklah semudah membalikan telapak tangan, untuk memperbaiki carut-marut kondisi negeri ini, kabinet saat ini harus bekerja keras dan cerdas, bila perlu “tidak tidur” untuk menghembuskan angin perubahan yang belum dirasakan rakyat secara significant. Beberapa program seperti BLT, Pengembangan Masyarakat Mandiri, pendidikan dengan program BOS nya sudah menyentuh di akar rumput (grass root) dan masih intens dan konsisiten dijalankan. Pada dataran positive program yang yang telah ada selayaknya kita support mengenai teknis dan non teknisnya. dengan demikian pengentasan kemiskinan sedikit demi sedikit dapat di tanggulangi

Sejatinya untuk perubahan ke arah yang lebih baik seyogianya semua komponen bangsa harus bahu membahu, dan tidak saling menyalahkan yang pada akhirnya dapat memunculkan sikap nonproduktif untuk kemajuan. Mengkritisi kebijakan dan arah pembangunan tidaklah keliru namun lebih bijaksana jika “mekanisme saling mengingatkan di antara kita” dilakukan lebih elegan dan didasari niat baik, tanpa tedeng aling-aling untuk mencemooh atau tendensi “merendahkan” pihak lain. Kondisi ini dapat berujung menciptakan portal pembenaran/sentimen pribadi atau golongan.

Awan kelabu di langit Indonesia

Hari-hari yang terlewatkan saat ini nyaris dipenuhi aksi demontrasi, di berbagai belahan bumi nusantara ini. Saat membaca koran atau melihat televisi berita tersebut kerap menjadi”suguhan wajib” bagi kita semua. Kalau bukan mengenai demo Ketidakpuasan hasil Pilkada, Silang sengketa di tubuh partai, demo golongan masyarakat Tani prihal klaim tanah, buruh yang gajinya tidak di bayar, LSM yang menentang kebijakan dan masih banyak deretan catatan harian mengenai demontrasi ini.

Di sisi lain keributan yang tak terkendali/anarkis masih kerap disuguhkan oleh kuli tinta pada kita semua. Ada siswa yang tawuran, mahasiswa yang baku hantam di kampusnya dan menghancurkan fasilitas kampus (notabene di bangun dari hasil pajak/uang rakyat), pergolakan pengusuran tanah, sampai-sampai aktivitas yang sangat menghormati sportivitas seperti Liga Sepak Bola Indonesia juga sering di landa keributan. Gejala sosial apa pula yang mendera negeri ini bung?

Awan kelabu yang menyelimuti moralitas bangsa kita, kemungkinan bisa diakibatkan sebagai eforia politik kebebasan yang kebablasan. Kita ibarat kuda lepas dari lasso nya, tidak terkendali dan emosianal. Jangan sampai peristiwa ini menjadi bumerang bagi kehidupan bernegara kita. Meskipun atas nama demokrasi, hal ini bukanlah jalan yang harus kita tempuh. Pergeseran aktualisasi ini jangan sampai menuntut demokrasi yang dibangun mengarah pada paham fasisme. Kita semua, berkewajiban untuk menoreh perubahan ke arah yang lebih baik dan tertata, agar “cuaca cerah” dan kedamaian menyelimuti lagi di langit Indonesia. Penyelenggara negara, kaum cerdik pandai, ulama, politisi, pengusaha, mahasiswa dan apapun pangkat dan gelar yang tersandang mari satukan langkah untuk memperbaiki kondisi carut marut ini. Pesan-pesan moral serta kebajikan segera kita tularkan _ menjadi katalisator kepada generasi penerus. Bangsa ini tidak akan besar apabila ekskalasi perbedaan selalu di kedepankan. Justru bagaimana memandang perbedaan sebagai sesuatu hal keanekaragaman pemikiran & kekayaan budaya yang akan menciptakan keindahan dan dinamisasi dalam berbangsa dan bernegara.

Kiranya konstelasi berpolitik, menyampaikan pendapat dalam kehidupan masyarakat yang berpancasila telah terlupakan untuk diamalkan. Negara kita didasarkan atas KeTuhanan. Agama apapun mengajarkan perdamaian dan saling menghargai antar sesama umat manusia, mari kita tapakur dan merenungkan kejadian yang telah dialami, untuk selanjutnya merealisasikan serpihan perubahan masa depan yang lebih baik, di bumi tercinta ….Indonesia.